script type="text/javascript

Selasa, 17 Juli 2012

PERAKITAN PESAWAT JABIRU OLEH TARUNA TARUNI SMKN 29 JAKARTA

Merakit pesawat Jabiru memang telah menjadi impian Romi sejak dia naik ke kelas XII. Siswa Program Studi Airframe Powerplant di sekolah kejuruan tersebut tekun memeriksa pinggiran pintu putih berukuran hampir 1 meter persegi, lalu menempelkannya di bingkai pesawat Jabiru J430, yang dirakit sejak dua bulan lalu.
“Pintu harus menempel pas di badan pesawat supaya tidak terjadi drag (hambatan angin) dan vibration (getaran),” ujar Romi.
Bersama sembilan rekan lainnya, Romi memperoleh kesempatan langka merakit pesawat ringan eksperimen buatan Australia tersebut sejak didatangkan Agustus lalu. Setiap orang diberi tugas menyelesaikan urusan sesuai dengan kompetensi, seperti masalah jaringan kabel, mesin, hingga rangka pesawat. Romi, misalnya, bertanggung jawab merampungkan pemasangan pintu kiri depan dari empat pintu yang terpasang di badan pesawat selama sepekan ke depan.
Romi dan teman-temannya di SMK 29 Jakarta beruntung bisa merakit pesawat sebagai alat eksperimen siswa. Bambang Sudibyo, Menteri Pendidikan Nasional pada kabinet lalu, memang berjanji akan mendatangkan pesawat eksperimen untuk sejumlah sekolah. Selain sekolah Romi, SMK Negeri 12 Bandung mendapat bantuan pesawat J430.
Pesawat rakitan itu tidaklah murah. Pembelian bagian-bagian pesawat, seperti rangka dan badan, mesin, hingga suku cadang, membutuhkan biaya Rp 700 miliar. Selain itu, biaya ekspedisi dan pajak untuk setiap komponen mencapai Rp 300 miliar. Meski digunakan untuk kegiatan belajar, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai masih menganggap pesawat ini sebagai barang mewah yang harus dikenai pajak.
Tepat pada Agustus, seluruh komponen pesawat sampai di sekolah dan siap dirakit siswa. Sekolah menamakan pesawat ini Swayasa, yang berarti karya rakitan sendiri.
Menurut guru pembimbing perakitan pesawat, Ahmad Budiman, siswa SMK penerbangan dilatih merawat dan memperbaiki pesawat. Dalam prakteknya, siswa juga dimungkinkan merakit pesawat.
Tak kurang dari tiga pesawat pernah dirakit di bengkel sekolah yang terletak di Jalan Wolter Monginsidi ini. Namun pesawat-pesawat rakitan tersebut hanya bisa dikendarai di darat alias tak bisa terbang. “Baru sekarang kami mendapatkan pesawat yang belum jadi agar bisa dirakit,” katanya saat ditemui di bengkel SMK Negeri 29 Jakarta.
Pesawat rakitan itu sebenarnya bisa selesai dalam tiga bulan, tapi sekolah ingin sebanyak mungkin siswa ikut terlibat dalam pengerjaan Swayasa. Targetnya, 80 persen siswa bekerja dalam proyek tersebut.
Para siswa dibagi dalam beberapa kelompok, yang beranggotakan 20 orang. Selama sepekan tiap kelompok itu mendapat jatah bekerja di bengkel dalam dua shift, pagi dan siang. “Pembagian ini diharapkan membantu proses belajar setiap siswa,” kata Ahmad. “Tapi efek sampingnya, waktu perakitan mundur menjadi empat bulan.”
Tahap pertama pengerjaan Swayasa dilakukan sepanjang September, dengan target menyelesaikan pemasangan bagian-bagian utama pesawat, seperti roda pendarat dan pemasangan mesin. Para siswa juga mempersiapkan dua bagian utama pada pesawat, yaitu badan dan sayap pesawat yang terbuat dari serat komposit ringan serta kuat.
Meski semua bagian pesawat telah tersedia, tak berarti pekerjaan Romi dan kawan-kawan lancar. Serat komposit kiriman pabrik yang terpisah menjadi bagian-bagian kecil harus disambung dengan perekat khusus yang tak dijual di Indonesia.
Namun impor resin sebagai perekat harus dilakukan bertahap akibat batasan yang diterapkan perusahaan ekspedisi, sehingga penyambungan badan pesawat sering tertunda. Jika stok benar-benar habis, sekolah harus meminjam resin ini dari peminat olahraga dirgantara lokal.
Romi dan teman-temannya juga harus mengatasi ketidaksempurnaan komponen pesawat. Permukaan serat komposit kiriman pabrik sering kali masih kasar sehingga mengganggu aerodinamika pesawat. Sebagai contoh, sambungan panel stabilisator horizontal dan elevator di ekor pesawat sedikit melengkung ke atas sehingga membuat aliran udara tak merata.
Ahmad menyatakan permasalahan seperti ini menjadi ajang bagi siswa untuk menunjukkan kemampuan teknis dan kreativitas dalam memecahkan masalah. Maklum saja, dalam teknologi pesawat yang bekerja pada kecepatan tinggi, kesalahan sedikit saja bisa mengakibatkan kecelakaan penerbangan.
Untuk mengatasi masalah melengkungnya sambungan di ekor pesawat, para siswa tengah mendiskusikan opsi untuk mengikis bagian yang menonjol atau menebalkan permukaan di sekitar tonjolan hingga rata dengan seluruh bidang panel.
Oktober lalu, perakitan pesawat memasuki tahap kedua, yaitu menyatukan komponen pesawat. Pekerjaan krusialnya adalah memasang mesin J3300 enam silinder ke badan pesawat. Mesin 4 tak ini memiliki banyak komponen penunjang yang juga harus diletakkan di dalam ruang mesin. Nantinya, mesin ini disambungkan ke baling-baling kayu penggerak pesawat.
Modifikasi besar juga dilakukan pada tahap ini. Perubahan mendasar terjadi pada sayap karena rancangan yang diberikan pabrik memiliki kelemahan berupa celah pada sambungan sirip sayap. Ini dapat menyebabkan terjadinya hambatan udara.
Siswa SMK 29 menyiasati celah ini dengan menambalnya memakai bilah komposit tipis tanpa harus mengorbankan sistem gerak sirip tersebut. Perubahan itu justru meningkatkan kecepatan maksimal pesawat hingga 10 knot dari kecepatan semula 120 knot.
Modifikasi lain dilakukan dengan memperbaiki aerodinamis perut pesawat, memperbaiki sistem ventilasi, dan memindahkan posisi lengan pengendali pada kokpit.
Sejak awal November ini, siswa memasuki tahap ketiga berupa penghalusan seluruh bagian pesawat. Pekerjaan ini melibatkan pengaturan halus pada sistem kabel dan mekanika panel penggerak.
Badan pesawat juga diperiksa ulang dan dihaluskan sebelum dicat. Pemasangan panel pengendali pesawat dilakukan pada tahap ini. Panel elektronik kompleks ini berfungsi sebagai pemantau kondisi penerbangan.
Tahap terakhir berupa pemeriksaan menyeluruh dilakukan pada Desember. Sekolah menargetkan Swayasa bisa melakukan penerbangan percobaan pada pertengahan Desember di Pangkalan Udara Pondok Cabe.
Selain dibimbing oleh guru pendamping, para siswa dibantu tenaga ahli dari Federasi Aero Sport Indonesia selama mengerjakan pesawat. Kehadiran pembimbing ini sangat penting untuk menjaga kualitas pesawat, sekaligus membantu pengurusan surat izin terbang.
Jika penerbangan percobaan berlangsung mulus, Swayasa akan guru yang telah memiliki sertifikat sebagai penerbang. Para siswa juga dapat menerbangkan pesawat asalkan telah mengantongi sertifikat khusus ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar